Tugas Mata Kuliah Ushul Fikih Tentang Istishab
Yang di ampu Oleh Dra. Sri Haningsih M. Ag
Pendahuluan
Dalam ushul fikih, metode-metode yang digunakan para mujtahid untuk menarik atau menyimpukan sebuah hukum relatif berjumlah banyak, dan salah satu metode yang digunakan untuk itu adalah istishab. Oleh karena itu dalam makalah ini penulis mengungkapkan hal-hal yang berkaitan dengan istishab mulai dari pengertian, syarat-syarat, bentuk-bentuk, kaida-kaidahnya sampai pada relevansi istishab terhadap hukum positif yang khusunya ada di Indonesia.
Pembahasan
A. Pengertian Istishab
Secara lughawi (etimologi) istishab itu berasal dari kata is-tash-ha-ba ((استصحب dalam shigat is-tif’âl (استفعال), yang berarti: استمرار الصحبة. Kalau kata الصحبة diartikan “sahabat” atau “teman”, dan استمرار diartikan “selalu” atau “terus-menerus”, maka istishab itu secara lughawi artinya adalah: “selalu menemani” atau “selalu menyertai”.
Sedangkan secara istilah (terminologi),
terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama, di antaranya ialah:
1. Imam Isnawi
Istishab ialah melanjutkan berlakunya hukum yang telah ada dan yang telah ditetapkan karena suatu dalil sampai ada dalil lain yang mengubah hukum-hukum tersebut.
2. Ibn al-Qayyim al-Jauziyah
Istishab ialah mengukuhkan menetapkan apa yang pernah ditetapkan dan meniadakan apa yang sebelumnya tiada.
3. Abdul-Karim Zaidan
Istishab ialah menganggap tetapnya status sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbukti ada sesuatu yang mengubahnya.
Istishab juga dapat berarti melanjutkan berlakunya hukum yang telah tetap di masa lalu, diteruskan sampai yang akan datang selama tidat terdapat yang mengubahnya. Sehingga dapat disimpulkan bahwa istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut.
Contoh tentang istishab adalah sebagai berikut:
a. Apabila telah jelas adanya pemilikan terhadap sesuatu harta karena adanya bukti terjadinya pemilikan seperti karena membeli, warisan, hibbah atau wasiat, maka pemilikan tadi terus berlangsung sehingga ada bukti-bukti lain yang menunjukkan perpindahan pemilikan pada orang lain.
b. Orang yang telah hilang tetap dianggap hidup sehingga ada bukti atau tanda-tanda lain yang menunjukkan bahwa dia meninggal dunia.
c. Seseorang yang telah menikah terus dianggap ada dalam hubungan suami-istri sampai ada bukti lain bahwa mereka telah bercerai, misalnya dengan talak.
B. Syarat-syarat Istishab
1. Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Dhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu.
2. Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
C. Macam-macam Istishab
Para ulama ushul fikih mengemukakan istishab itu terbagi dalam lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan, yaitu:
1. Istishab Hukm Al-Ibahah Al-Asliyyah
اِسْتِصْحَابُ حُكْمِ الْاِبَاحَةِ الْاَصْلِيَّةِ
Maksudnya: menetapkan hukum sesuatu yang bermanfaat bagi manusia adalah boleh, selama belum ada dalil yang menunjukkan keharamannya.
Misalnya, seluruh pepohonan yang ada di hutan merupakan milik bersama umat manusia dan semuanya berhak untuk memanfaatkannya, sampai ada bukti yang menunjukkan bahwa hutan tersebut telah menjadi milik seseorang. Hal ini berdasarkan pada firman Allah:
uqèd “Ï%©!$# šYn=y{ Nä3s9 $¨B ’Îû ÇÚö‘F{$# $YèŠÏJy_ §NèO #“uqtGó™$# ’n<Î) Ïä!$yJ¡¡9$# £`ßg1§q|¡sù yìö7y™ ;Nºuq»yJy™ 4 uqèdur Èe@ä3Î/ >äóÓx« ×LìÎ=tæ ÇËÒÈ
Artinya: “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu…”. (Q.S Al-Baqarah: 29)
Ayat lain yang dijadikan para ulama sebagai dasar bentuk istishab ini adalah firman Allah berikut ini:
ö@è% ô`tB tP§ym spoYƒÎ— «!$# ûÓÉL©9$# ylt÷zr& ¾ÍnÏŠ$t7ÏèÏ9 ÏM»t6Íh‹©Ü9$#ur z`ÏB É-ø—Ìh9$# 4 ö@è% }‘Ïd tûïÏ%©#Ï9 (#qãZtB#uä ’Îû Ío4quŠysø9$# $u‹÷R‘‰9$# Zp|ÁÏ9%s{ tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# 3 y7Ï9ºx‹x. ã@Å_ÁxÿçR ÏM»tƒFy$# 5Qöqs)Ï9 tbqçHs>ôètƒ ÇÌËÈ
Artinya: “Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkan-Nya untuk hamba-hamba-Nya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik…”. (Q.S Al-A’raf: 32)
Para ahli ushul fikih mengatakan bahwa pemanfaatan seluruh ciptaan Allah yang ada di bumi, perhiasan-Nya, dan hak mencari rezeki, merupakan hak setiap orang dan hukumnya halal selama tidak ada dalil yang mengharamkannya. Istishab seperti ini menurut para ulama dapat dijadikan hujjah dalam menetapkan hukum.
2. Istishab yang Menurut Akal dan Syara’ Hukumnya Tetap dan Berlangsung Terus
Ibnu QayyimAl-Jauziyah, ahli ushul fikih Hanbali menyebutnya dengan “Wasf al-tsabit li al-hukm hatta yutsbita khilafahu (sifat yang melekat pada suatu hukum, sampai ditetapkan hukum yang berbeda dengan hukum itu”. Misalnya, hukum wudhu seseorang dianggap berlangsung terus sampai adanya penyebab yang membatalkannya. Apabila seseorang merasa ragu apakah wudhunya masih ada atau telah batal, maka berdasarkan istishab, wudhunya dianggap masih ada, karena keraguan yang muncul terhadap batal atau tidaknya wudhu tersebut, tidak bisa mengalahkan keyakinan seseorang bahwa ia masih dalam keadaan berwudhu. Hal ini sejalan dengan sabda Rasulullah SAW. terhadap seseorang yang merasa ragu terhadap keutuhan wudhunya. Ketika itu Rasulullah SAW. menyatakan: “Jika seseorang merasakan sakit perutnya lalu ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar atau tidak, maka sekali-kali jangan ia keluar dari mesjid (membatalkan shalat) sampai kamu mendengar suara atau mencium bau (kentut)” (HR. Muslim dari Abu Hurairah).
Terdapat perbedaan pendapat mengenai kehujjahan dari istishab bentuk kedua ini. Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah berpendapat bahwa istishab bentuk ini dapat dijadikan hujjah. Imam Al-Ghazali menyatakan bahwa istishab hanya bisa dijadikan hujjah apabila didukung oleh dalil, dan dalil itu menunjukkan bahwa hukum tersebut masih tetap berlaku dan tidak ada dalil lain yang membatalkannya. Dan menurutnya, istishab tidak dapat dijadikan alasan berdasarkan anggapan bahwa tidak ada dalil lain yang membatalkan suatu hukum. Sedangkan ulama Hanafiyyah berpendirian bahwa istishab seperti ini hanya bisa dijadikan kasus.
3. Istishab terhadap Dalil yang Bersifat Umum Sebelum Datangnya Dalil yang Mengkhusukannya dan Istishab dengan Nash Selama tidak Ada Dalil Nash (yang Membatalkannya)
Istishab bentuk ketiga ini dari segi esensinya, tidak diperselisihkan para ulama ushul fikih. Namun, dari segi penamaan terdapat perbedaan di antara ulama ushul fikih.
Misalnya, dalam surat Al-Baqarah ayat 267, diwajibkan menafkahkan seluruh hasil usaha manusia dan seluruh yang diperoleh melalui pengeksploitasian sumber daya alam. Kalimat nafkah, seluruh hasil usaha dan seluruh hasil yang dieksploitasi dari sumber daya alam tersebut, menurut kesepakatan para ulama ushul fiqih bersifat umum, baik nafkah wajib itu berbentuk zakat, nafkah keluarga maupun kaum kerabat. Menurut ulama ushul fiqih, kandungan ayat yang umum ini tetap berlaku selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya. Akan tetapi, menurut sebagian ulama ushul fiqih lainnya seperti Imam Haramain Al-Juwaini dan Imam Al-Syaukani hal tersebut bukan istishab melainkan berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
Contoh istishab dengan nash selama tidak ada yang menasakhkannya adalah kewajiban berpuasa yang dicantumkan Allah dalam firman-Nya, yaitu:
$yg•ƒr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNà6ø‹n=tæ ãP$u‹Å_Á9$# $yJx. |=ÏGä. ’n?tã šúïÏ%©!$# `ÏB öNà6Î=ö7s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÑÌÈ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu…”.(Q,S Al-Baqarah: 183)
Kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan yang berlaku bagi umat sebelum Islam, tetap wajib bagi umat Islam berdasarkan ayat di atas, selama tidak ada nash lain yang membatalkannya. Kasus seperti ini pun menurur jumhur ulama ushul fiqih termasuk istishab, tetapi menurut ulama ushul fiqih lainnya, seperti yang dikemukakan di atas tidak dinamakan istishab, tetapi berdalil berdasarkan kaidah bahasa.
4. Istishab Hukum Akal sampai Datangnya Hukum Syar’i
Maksudnya adalah umat manusia tidak dikenakan hukum-hukum syar’i sebelum datangnya syara’, seperti tidak adanya pembebanan hukum dan akibat hukumnya terhadap umat manusia sampai datangnya dalil syara’ yang menentukan hukum. Misalnya, apabila seseorang menggugat (penggugat) orang lain (tergugat) bahwa ia berutang kepada penggugat sejumlah uang, maka penggugat berkewajiban untuk menentukan alat-alat bukti atas tuduhannya tersebut. Apabila ia tidak sanggup, maka tergugat bebas dari tuntutan dan ia dinyatakan tidak pernah berutang pada penggugat.
Menurut ulama Hanafiyyah, istishab dalam bentuk ini hanya bisa menegaskan hukum yang telah ada dan tidak bisa menetapkan hukum yang akan datang. Sedangkan menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyyah, dan Hanabillah, istishab seperti ini juga dapat menetapkan hukum syar’i, baik untuk menegaskan hukum yang telah ada maupun hukum yang akan ada (datang).
5. Istishab Hukum yang Ditetapkan berdasarkan Ijma’, tetapi Keberadaan Ijma’ Diperselisihkan
Misalnya, para ulama fiqih menetapkan berdasarkan ijma’ bahwa tatkala air tidak ada, seseorang boleh bertayammum untuk mengerjakan shalat. Apabila dalam keadaan shalat ia meliha ada air, apakah shalatnya harus dibatalkan kemudian ia berwudhu atau shalatnya diteruskan.
Menurut ulama Malikiyah dan Syafi’iyyah, orang tersebut tidak boleh membatalkan shalatnya, karena adanya ijma’ yang menyatakan bahwa shalat itu sah apabila dikerjakan sebelum melihat air. Mereka menganggap hukum ijma’ tetap berlaku sampai adanya dalil yang menunjukkan bahwa ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang kembali shalatnya. Akan tetapi, ulama Hanafiyyah dan Hanabillah mengatakan orang yang melakukan shalat dengan tayammum dan ketika shalat melihat air, ia harus membatalkan shalatnya untuk kemudian berwudhu dan mengulang shalatnya itu. Mereka tidak menerima ijma’ tentang sahnya shalat orang yang bertayammum sebelum melihat air, karena ijma’ menurut mereka hanya terkait dengan hukum sahnya shalat bagi orang dalam keadaan ketiadaan air, bukan dalam keadaan tersediannya air.
D. Kehujjahan Istishab
Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai kehujjahan istishab, yaitu:
1. Mayoritas dari pengikut Malik, Syafi’i, Ahmad, dan sebagian ulama Hanafi berpendapat bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum syara’, selama belum ada dalil yang mengubahnya.
Alasan mereka adalah sesuatu yang telah ditetapkan pada masa lalu, selama tidak ada dalil yang mengubahnya, baik secara qath’i (pasti) maupun zhanni (relatif), maka hukum yang telah ditetapkan itu terus berlaku karena adanya dugaan keras belum ada perubahan. Apabila suatu dugaan keras (zhann) tidak bisa dijadikan landasan hukum, maka bisa berakibat tidak berlakunya seluruh hukum yang telah disyari’atkan Allah dan Rasulullah SAW. bagi generasi sesudahnya. Oleh sebab itu, alasan yang menunjukkan berlakunya syari’at di zaman Rasulullah SAW. sampai hari kiamat adalah menduga keras (zhann) berlakunya syari’at itu sampai sekarang, tanpa ada dalil yang menasakhkannya.
Di samping itu, mereka juga beralasan dengan ijma’, karena banyak hukum juz’i (rinci) yang telah disepakati para ulama fiqih (ijma’) yang didasarkan pada kaidah istishab. Misalnya, menetapkan wudhu tidak batal karena adanya keraguan terhadap ketentuan wudhu itu, menetapkan halalnya berhubungan suami istri yang telah melakukan akad nikah sampai terbukti bahwa mereka telah cerai, dan menetapkan tetapnya hak milik seseorang menjadi miliknya selama tidak terbukti terjadinya pemindahtanganan hak milik tersebut.
2. Sebagian besar dari ulama mutakhirin, Hanafi berpendapat, bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum syara’. Penetapan ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya.
3. Segolongan dari ulama mutakallimin seperti Hasan Al-Bashri dan yang sependapat dengannya berpendapat bahwa istishab secara mutlak tidak dapat dipakai/dijadikan hujjah di dalam menetapkan hukum syara’, karena hukum yang ditetapkan adalah hukum yang sama pada masa lampau yang menghendaki adanya dalil. Demikian juga untuk menetapkan hukum yang sama pada masa sekarang dan yang akan datang, harus pula berdasarkan dalil.
Alasan mereka, mendasarkan hukum tanpa dalil sekalipun suatu hukum telah ditetapkan pada masa lampau dengan suatu dalil, namun untuk memberlakukan hukum itu untuk masa yang akan datang diperlukan dalil lain.
E. Kaidah-kaidah Istishab
Berikut adalah kidah pokok yang populer dan telah dirumuskan para ulama tentang istishab:
الْيَقِيْنُ لَايُزَالُ بِالشَّكِّ
Maksudnya: apa yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan suatu yang meragukan.
Selain kaidah di atas, terdapat beberapa kaidah lagi mengenai istishab, yaitu:
اَلْاَصْلُ بَقَاءُ مَا كَانَ عَلَى مَا كَانَ حَتَّى يَثْبُتَ مَا يُغَيِّرُهُ.
Maksudnya: pada dasarnya seluruh hukum yang sudah ada dianggap berlaku terus sampai ditemukan dalil yang menunjukkan hukum itu tidak berlaku lagi.
اَلْاَصْلُ فِى الْاَشْيَاءِ اَلْاِبَاحَةُ.
Maksudnya: pada dasarnya dalam hal-hal yang sifatnya bermanfaat bagi manusia hukumnya adalah boleh dimanfaatkan.
اَلْاَصْلُ فِى الذِّمَّةِ اَلْبَرَاءَةُ مِنَ التَّكَالِيْفِ وَالْحُقُوْقِ.
Maksudnya: pada dasarnya seseorang tidak dibebani tanggung jawab sebelum adanya dalil yang menetapkan tanggung jawab orang yang bersangkutan.
Menurut al-Suyuthi dalam kitabnya, al-Asybah wa al-Nazhair, kaidah fiqhiyah yang pokok itu didasarkan kepada beberapa hadits Nabi, di antaranya adalah:
1. Hadits dari Abu Hurairah menurut riwayat Muslim:
إِذَاوَجَدَأَحَدُكُمْ فِى بَطْنِهِ شَيْئًا فَاَشْكَلَ عَلَيْهِ أَخَرَجَ مِنْهُ شَيْئًا اَمْ لَا فَلَا يَخْرُجَنَّ مِنَ اْلَمسْجِدِحَتَّى يَسْمَعَ صَوْتًا اَوْيَجِدَرِيْحًا (الحديث).
Bila salah seorang di antaramu merasakan pada perutnya sesuatu, kemudian ia ragu apakah ada sesuatu yang keluar dari perutnya itu atau tidak, janganlah ia keluar dari masjid sampai ia mendengar suara atau mencium bau.
2. Hadits dari Abu Sa’id al-Khudri menurut riwayat Muslim:
اِذَاشَكَّ اَحَدُكُمْ فِى صَلَاتِهِ فَلَمْ يَدْرِ كَمْ صَلَّى اَثَلَاثًا أَمْ أَرْبَعًا فَلْيَطْرَحِ الشَّكَّ وَلْيَبْنِ عَلَى مَااسْتَيْقَنَ (الحديث).
Apabila salah seorang di antaramu ragu dalam shalatnya apakah telah tiga rakaat atau empat rakaat, maka hendaklah ia buang apa yang meragukan dan mengambil apa yang meyakinkan.
F. Relevansi Istishab dengan UU Positif serta terhadap Perkembangan Masyarakat pada Zaman Sekarang
Istishab dipergunakan dalam Undang-Undang Pidana sebagai landasan, karena segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya, dan kebanyakan dari hukum Undang-Undang perdata pun demikian. Dalam istishab pada dasarnya seseorang itu dinyatakan tidak bersalah sampai ada bukti secara meyakinkan bahwa orang tersebut bersalah. Prinsip ini di dalam hukum positif Indonesia khususnya dikenal dengan istilah praguga tak bersalah.
Kesimpulan
Istishab adalah menetapkan berlakunya suatu hukum yang telah ada sebelum ada dalil atau bukti yang mengubah hukum tersebut. Terjadi perbedaan pendapat mengenai syarat-syarat istishab di kalangan para ulama yaitu menurut Syafi’iyyah dan Hanabillah serta Zaidiyah dan Zhahiriyah berpendapat bahwa hak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu, sedangkan menurut Hanafiyyah dan Malikiyah membatasi istishab terhadap aspek yang menolak saja dan tidak terhadap aspek yang menarik (ijabi) menjadi hujjah untuk menolak, tetapi tidak untuk mentsabitkan.
Para ulama ushul fikih mengemukakan istishab itu terbagi dalam lima macam, yang sebagiannya disepakati dan sebagian lainnya diperselisihkan, yaitu: istishab hukm al-ibahah al-asliyyah, istishab yang menurut akal dan syara’ hukumnya tetap dan berlangsung terus, istishab terhadap dalil yang bersifat umum sebelum datangnya dalil yang mengkhusukannya dan istishab dengan nash selama tidak ada dalil nash (yang Membatalkannya), istishab hukum akal sampai datangnya hukum syar’i, dan istishab hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma’ tetapi keberadaan ijma’ diperselisihkan.
Ada tiga pendapat dikalangan ulama mengenai kehujjahan istishab, yaitu: Mayoritas dari pengikut Malik, Syafi’i, Ahmad, dan sebagian ulama Hanafi berpendapat bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum syara’, selama belum ada dalil yang mengubahnya. Sebagian besar dari ulama mutakhirin, Hanafi berpendapat, bahwa istishab dapat menjadi hujjah dalam menetapkan hukum syara’ yang dalam hal ini hanya berlaku pada kasus yang sudah ada hukumnya dan tidak berlaku bagi kasus yang akan ditetapkan hukumnya. Segolongan dari ulama mutakallimin seperti Hasan Al-Bashri dan yang sependapat dengannya berpendapat bahwa istishab secara mutlak tidak dapat dipakai/dijadikan hujjah di dalam menetapkan hukum syara’.
Berikut adalah kidah pokok yang populer dan telah dirumuskan para ulama tentang istishab: apa yang ditetapkan dengan suatu yang meyakinkan tidak dapat dihilangkan dengan suatu yang meragukan. Istishab dipergunakan dalam Undang-Undang Pidana sebagai landasan. Karena segala sesuatu dipandang mubah sebelum ada ketentuan tegas yang menetapakan keharamannya. Dan kebanyakan dari hukum Undang-Undang perdata pun demikian.
DAFTAR PUSTAKA
Djazuli, A., Ilmu Fiqh: Penggalian, Perkembangan, dan Penerapan Hukum Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006.
Effendi, Satria, Ushul Fiqh, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Rifa’i, Moh., Ushul Fiqih, Bandung: PT Alma’arif, t.t.
Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 2, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2009.
Umam, Chaerul, dkk, Ushul Fiqih 1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2000.