A. Pengertian dan dasar hukum Ijtihad
Secara historis, ijtihad pada
dasarnya telah ada dan dilakukan sejak zaman awal Islam, yaitu pada zaman Nabi
Muhammad saw, dan kemudian berkembang pada masa-masa sahabat dan tabi’in serta
masa –masa generasi selanjutnya sehingga pada masa kini dan mendatang dengan
mengalami pasang surut dan karakteristiknya masing-masing.
Ijtihad adalah berasal dari fi’il madly ijtahada, yang
artinya bersungguh-sungguh menggali hukum Islam yang belum jelas dasar hukumnya
dalam Al-Qur’an dan Hadis. Dari sisi metode formasi kaedah-kaedah hukum Imam
Syafi’I sebagai arsitek ilmu ushul fiqh membatasi ijtihad dengan cara
menggunakan qiyas. Menurutnya , qiyas dan ijtihad adalah dua istilah yang
identik . Menurut doktrin ini , Syafi’i yakin bahwa hukum-hukum syari’ah
semuanya dapat dicapai melalui medium qiyas.
Penyimpulan hukum melalui ( ijtihad
bayani) legal linguistik terutama
dipahami dari pernyataan Al-Qur’an dan hadis. Kajian semantic ini
terutama untuk masalah-masalah yang rinci dalam sumber-sumber material dan
berbagai peristiwa khusus bisa dikategorikan ke dalamnya dipandang semata-mata
bersifat linguistic dan sudah barang tentu berada di luar wilayah penalaran
qiyas . oleh karena ijtihad bayani (semantic) ditujukan kepada teks-teks syari’ah
untuk memahami kandungan hukum dimaksud, maka pola ini bertolak dari
kaedah-kaedah kebahasaan Arab. Dasar analisis pola penalaran ini lafadz-lafadz
yang digunakan oleh Al-Qur’an dan Hadis yang bertitik tolak dari kaidah
kebahasaan
Dasar
Hukum
Sebagaimana
disebutkan di atas bahwa ijtihad dalam Islam sangat dianjurkan apabila umat
Islam menemui beberapa persoalan yang belum jelas dasar hukumnya dalam
Al-Qur’an maupun Hadis. Dalil yang
menetapkan disyariatkannya ijtihad ini ada dalam Al-Qur’an, Al-Hadis dan Ijma’
yang disebutkan dalam QS Annisa’:83:
...
وَ لَوْ رَدُّوْهُ اِلىَ الرّّسُوْلِ وَ اِلىَ اُوْلىِ الأَمْرِ مِنْهُمْ
لَعَلِمَهُ الَّذِيْنَ يَسْتَنْبِطُوْنَهُ مِنْهُمْ...
…dan kalau
mereka menyerahkan kepada rasul dan ulil amri di antara mereka tentulah
orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya akan dapat mengetahuinya dari
mereka ( Rasul dan Ulil Amri) (QS.Annisa’:83)
Demikian juga disebutkan dalam QS As-Syura:38:
...
وَ أَمْرُهُمْ شُوْرَى بَيْنَهُمْ...
…sedangkan urusan mereka diputuskan dengan musyawarah
antara mereka…(QS.Asy-Syuro: 38).
Oleh
karena itu dalam menyikapi kiat berijtihad sekaligus untuk memotivasi generasi
mujtahid berikutnya ada sebuah hadis yang bisa dipakai suatu rujukan, seperti
berikut ini:
اِذاَجْتَهَدَالحَاكِمُ
فَأَصاَبَ فَلَهُ أَجْراَنِ وَاِذاَ اجْتَهَدَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ
…apabila
seorang hakim berijtihad dan benar hasil ijtihadnya , maka baginya dua pahala,
tetapi kalau salah hasil ijtihadnya maka baginya satu pahala…
B.
OBYEK PEMBAHASAN DAN DALIL-DALIL IJTIHAD
Yang
menjadi ruang lingkup pembahasan ijtihad (obyek ) pembahasannya adalah ibadah ghairu
mahdlah (mu’amalat). Untuk lebih
jelasnya tentang bahasan mu’amalat dijelaskan dalam mata kuliah fiqh mu’amalat
dan dalam proses pembelajaran ushul fiqh ini mahasiswa diberi tugas
mendiskripsikan persoalan-persoalan mu’amalat yang terkini (tugas individu)
mahasiswa.
Dalil-dalil
ijtihad dalam bahasan ini adalah meliputi dalil-dalil yang bukan berasal dari
nash tetapi berasal dari dalil-dalil akal, namun tidak terlepas dan ada
hubungannya dengan asas-asas pokok agama Islam yang terdapat dalam nash. Yang
termasuk dalil-dalil ijtihadi, ialah (1) ijma’, (2) qiyas, (3) istihsan, (4)
maslahat mursalah, (5) urf, (6) syar’u man qablana, (7) istishab, (8)
saddudz-dzari’ah dan (9) madzhab sahabat
Untuk lebih
menyederhanakan uraian dalil-dalil ijtihadi ini dibagi menjadi beberapa
pertemuan . dalam pertemuan ke-empat ini dibahas tentang ijma’ dan qiyas. Dalil
ijtihad yang lainnya dibahas dalam pertemuan ke lima dan seterusnya.
C. DALIL-DALIL IJTIHADI
I. IJMA’
Pengertian
ijma’; menurut bahasa Arab berarti
kesepakatan atau sependapat tentang suatu hal,seperti perkataan عَلَى كَذاَ وَكَذاَ الْقَوْمُ أَجْمَع
Yang
berarti kaum / masyarakat itu telah
sepakat ( sependapat) tentang yang demikian itu. Menurut istilah ijma’ ialah
kesepakatan mujtahid umat Islam tentang hukum syara’ dari suatu peristiwa yang
terjadi setelah Rasul saw meninggal dunia. Sebagai contoh ialah setelah
Rasulullah saw meninggal dunia diperlukan
pengangkatan seorang penganti beliau yang dinamakan khalifah ,
maka kaum muslimin yang ada pada waktu itu sepakat untuk mengangkat seorang khalifah dan atas kesepakatan bersama
pula diangkatlah Abu Bakar RA sebagai khalifah pertama. Sekalipun pada
permulaannnya ada yang kurang menyetujui pengangkatan Abu Bakar itu, namun
kemudian semua kaum muslimin menyetujuinya.Kesepakatan yang seperti ini dapat
dikatakan ijma’.
Dasar
Hukum Ijma’
Dasar
hukum Ijma’ berupa Al-Qur’an, Al-Hadis dan akal pikiran. Di antara dasar-dasar tersebut ialah :
a) Al-Qur’an
ياَ أَ يُّـها الَّذِ يْنََ أ ّمَنُوْا أَ طِيْعُوْا الّلَهَ وَ
أَطِيْعُوْا الرَّسُوْلَ وَ أوُلىِ الاَمْرِ مِنْكُمْ ...
Hai orang-orang yang beriman, taatilah
Allah dan taatilah Rasul dan Ulil amri di antara kamu ( Qs:5:59)
Perkataan amri
yang terdapat pada ayat di atas
berarti hal keadaan atau urusan
yang bersifat umum meliputi urusan dunia dan urusan agama. Ulil amri dalam
urusan dunia ialah raja, kepala Negara, pemimpin atau penguasa, sedang ulil
amri dalam urusan agama ialah para mujtahid.
Dari ayat di
atas (qs;5;59) dapat dipahami bahwa jika para ulil amri itu telah sepakat
tentang suatu ketentuan atau hukum dari suatu peristiwa , maka kesepakatan itu
hendaklah dilaksanakan dan dipatuhi oleh kaum muslimin. Firman Allah swt
berikut:
واَعْتَصِمُوْا
بِحَبْلِ اللَّهِ جَمِيْعاً وَلاَ تَفَرَّقُوْا ( أل عمران 103)
Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali ( agama) Allah
dan janganlah kamu bercerai berai… ( Qs:3:103)
Ayat ini memerintahkan kaum muslimin bersatu padu,
janganlah sekali-kali bercerai berai. Termasuk dalam pengertian bersatu itu
ialah berijma’ ( bersepakat) dan dilarang bercerai berai, yaitu dengan
menyalahi ketentuan-ketentuan yang telah disepakati para mujtahid.
b) Al- Hadis:
Bila
para mujtahid telah melakukan ijma’ tentang hukum syara’) dari satu peristiwa
atau kejadian ,maka ijma’ itu hendaklah diikuti, karena mereka tidak mungkin
melakukan kesepakatan untuk melakukan kesalahan apalagi kemaksiatan dan dusta,
sebagaimana sabda Rasulullah saw:
لاَ تَجْتَمِعُ أ
مَّتِى عـلىَ خَطاَءٍ ( رواه أ بو داود وا التر ميذى)
Umatku tidak akan bersepakat untuk melakukan kesalahan (
Hr.Abu Dawud dan At-Tirmidzi )
c) Akal Pikiran
Setiap ijma’
yang dilakukan atas hukum sara’,
hendaklah dilakukan dan dibina atas
azas-azas pokok ajaran Islam. Karena itu setiap mujtahid dalam berijtihad
hendaklah mengetahui dasar-dasar pokok ajaran Islam, batas-batas yang telah
ditetapkan dalam berijtihad serta hukum-hukum yang telah ditetapkan. Bila ia
berijtihad dan dalam berijtihad itu ia menggunakan nash, maka ijtihadnya tidak
boleh melampaui batas maksimum dari yang mungkin dipahami dari nash itu.
Sebaliknya jika dalam berijtihad ia tidak menemukan satu nash-pun yang dapat
dijadikan dasar ijtihadnya, maka dalam berijtihad ia tidak boleh melampaui
kaidah-kaidah umum agama Islam, karena itu ia boleh menggunakan
dalil-dalil yang bukan nash,seperti
qiyas, istihsan dan sebagainya.
Jika mujtahid
sudah melakukan seperti yang demikian itu, maka hasil ijtihad yang telah
dilakukannya tidak akan jauh menyimpang atau menyalahi Al-Qur’an dan Al-hadis,
karena semuanya dilakukan berdasar petunjuk kedua dalil itu. Jika seorang mujtahid boleh melakukan
seperti ketentuan di atas, kemudian pendapatnya itu boleh diamalkan, tentulah
hasil pendapat mujtahid yang banyak yang sama tentang hukum suatu peristiwa
lebih utama diamalkan
Rukun-rukun Ijma’
Dari definisi
dan dasar hukum ijma’ di atas, maka ulama’ ushul fiqh menetapkan rukun-rukun
ijma’ sebagai berikut:
a)
Harus ada beberapa orang mujtahid di
kala terjadinya suatu peristiwa dan para mujtahid itulah yang melakukan
kesepakatan dalam menetapkan hukum periatiwa itu
b)
Yang melakukan kesepakatan itu
hendaklah seluruh mujtahid yang ada dalam dunia Islam.
c)
Harus dinyatakan secara tegas oleh
setiap mujtahid bahwa ia sependapat dengan mujtahid –mujtahid yang lain tentang
hokum (syara’) dari suatu peristiwa yang
terjadi pada masa itu.
d)
Kesepakatan
yang bulat dari seluruh mujtahid
Kemungkinan terjadinya ijma’
Jika
diperhatikan sejarah kaum muslimin sejak zaman Rasulullah saw sampai sekarang,
dihubungkan dengan kemungkinan terjadinya ijma’, maka ijma’ dapat dibagi atas
tiga pereode, yaitu:
a.
pereode Rasulullah saw
b.
pereode khalifah Abu Bakar Umar bin
Khtattab
c.
pereode sesudahnya
Berangkat dari realitas kondisi
hukum yang berlaku saat itu dan Rasul masih hidup, maka dapat disimpulkan
hal-hal sbb:
1)
Ijma’ tidak
diperlukan pada masa nabi Muhammad saw
2)
Ijma’ mungkin
terjadi pada masa Khalifah Abu Bakar , Umar bin Khttab dan enam tahun pertama
Khalifah Usman
3)
Setelah masa
enam tahun kedua pemerintahan Usman
samapaiu saat ini kecil kemungkinan terjadinya ijma’ mengingat kalau kita
perhatikan syarat-syarat berijtihad. Oleh karena itu perlu ada sikap antisipasi
dan kebijakan tegas dari para mujtahid dan oleh karenanya definisi ijma’ bisa
disebut: ijma’ adalah keputusan hokum yang diambil oleh wakil-wakil umat Islam
atau para mujtahid yang mewakili segala lapisan masyarakat umat islam. Mereka
diberi hak oleh agama utuk membuat undang-undang atau peraturan-peraturan yang mengatur
kepentingan rakyat mereka.
Macam-macam ijma’ antara lain:
Ijma’ ditinjau dari cara terjadinya:
a)
Ijma’ bayani
, para mujtahid menyatakan pendapatnya dengan jelas dan tegas baik berupa
ucapan atau tulisan. Disebut juga ijma’ sharih, ijma’
qauli atau ijma’ haqiqi
b)
Ijma’ sukuti, para mujtahid seluruh
atau sebagian mereka tidak menyatakan pendapat dengan jelas dan tegas, tetapi
mereka berdiam diri saja atau tidak
memberikan respon terhadap suatu ketentuan hukum yang telah dikemukakan
mujtahid lain yang hidup di zamannya , disebut juga dengan ijma’ I’tibari .
Ijma’
ditinjau dari segi yakin atau tidaknya terjadinya suatu ijma’, dapat dibagi :
a)
Ijma’ qath’I, yaitu hukum yang
dihasilkan ijma’ diyakini benar terjadinya, tidak ada kemungkinan lain bahwa
hukum dari peristiwa telah ditetapkan berbeda dengan hasil ijma’ yang dilakukan
pada waktu yang lain.
b)
Ijma’ dzanni, yaitu hukum yang
dihasilkan ijma’ itu dhanni, masih ada kemungkinan lain bahwa hokum dari peristiwa atau kejadian yang telah
ditetapkan berbeda dengan hasil ijtihad orang lain.
Obyek
Ijma’
Obyek ijma’ ialah semua peristiwa
atau kejadian yang tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan Hadis, peristiwa atau
kejadian yang berhubungan dengan ibadat ghairu mahdlah ( ibadah yang
tidak langsung ditujukan kepada Allah
swt ) bidang mu’amalat, bidang kemasyarakatan atau semua hal-hal yang
berhubungan dengan urusan duniawi tetapi tidak ada dasarnya dalam Al-Qur’an dan
Al-hadis.
II.
QIYAS
1)
Pengertian qiyas.
Secara bahasa diartikan menyamakan,
membandingkan atau mengukur, sedang menurut istilah ulama’ ushul fiqh qiyas
adalah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar
nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang
lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan illat
antara kejadian atau peristiwa itu. Contoh : minum narkotika sama dengan minum
khamr atau yang sejenis MIRAS yang lain
yang jenisnya saat ini beraneka ragam sepanjang memabukkan hukumnya sama dengan
minum khamr ( haram) , hal ini sesuai dengan firman Allah berikut ini:
ياَ أ يُّهاَ الّـذِيْنَ أَ مَنُوْ ا نَّماَ
الْخَمْرُ والْمَيْسِرُ والاَنْصاَبُ والاَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشّيْطاَنِ
فاَ جْتَنِبُوْهُ لَعَـلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ ( الما ءدة 90)
Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya ( minum) khamr, berjudi, menyembah
patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang
kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hedaknlah kamu jauhi agar kamu
mendapat keberuntungan (QS.5:90)
Antara minum
khamr dengan minum narkotika dan MIRAS yang sejenis ada persamaan illatnya,
yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya , sehingga dapat merusak
akal. Berdasarkan persamaan illat itu ditetapkanlah hukum minum narkotika yaitu
haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.
Contoh lain
adalah perbuatan pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap yang akan
diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan . sehubungan dengan
ini Rasul saw bersabda :القَاتِلُ لاَ يَرِثُ ( رواه التر ميذي) , artinya
orang yang membunuh ( orang yang akan diwarisinya ) tidak berhak mewarisi ( HR
Turmudzi).Antara kedua peristiwa itu ada
persamaan illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu
yang ditentukan. Contoh lain : seseorang bekerja terus menerus tanpa ada
menejemen waktu hukumnya makruh, berdasar firman Allah SWT:
ياَ أَيُّهاَالَّذِيْنَ
أمَنُوْا اِذاَ نُوْدِيَ لِلصَّلاَةِ مِنْ يَوْ مِ الْجُـمْعَةِ فاَ اسْعَوْ اِلىَ
ذِ كْرِ اللَّهِ
وَ ذَ رُواْ الْبَيْعَ
ذَ لِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ اِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ ( الجـمعة 9)
Hai
orang-orang yang beriman, apabila diserukan ( adzan) untuk sembahyang hari
Jum’at, maka hendaklah segera mengungat Allah (shalat Jum’at) dan meninggalkan
jual beli. Yang demikian itu lebih baik untukmua jika kamu mengetahui (QS.62:9)
Antara kedua
pekerjaan itu ada persamaan illatnya , karena itu dapat pula ditetapkan hukum
mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan jum’at, yaitu makruh
seperti hukum terus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum’at
2)
Dasar hukum qiyas
Sebagian besar para ulama’ fiqh dan para pengikut madzhab
empat ( Syafi’I, Hambali, Maliki dan Hanafi) sependapat bahwa qiyas dapat
dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam
ajaran Islam. Hanya saja ada sebagian dari mereka yang berbeda pendapat. Dapat
dikatakan hanya sebagian kecil saja para ulama’ yang tidak membolehkan
pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, di antaranya adalah salah satu cabang
dari madzhab Zahiri dan Syi’ah
Di antara dasar hukum qiyas yang membolehkannya sebagai
dasar hujjah, ialah :
1)
Al-Qur’an
Hai
orang-orang yang beriman, ta`atilah Allah dan ta`atilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu,
maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu
benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih
utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.
2
). Hadis
كَيْفَ تَقْضِي اِذاَ
عَرَضَ لَكَ قَضاَءٌ ؟ قاَلَ : أَقْضِي بِكِتاَبِ اللَّهِ, قاَ لَ: فاَ ِنْ لَمْ
تَجِدْ فىِ
كِتاَبِ اللَّهِ ؟
قاَلَ : فَبِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ ,
قاَلَ: فاَ ِنْ لَمْ تَجِدْ فىِ ِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ
عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ وَلاَ فىِ كِتاَبِ اللَّهِ
؟ , قاَلَ: : أَ جْتَهِدُ رَأْيِى
وَلآ أَلُواْ
فَضَرَبَ رَسُوْلِ
اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
صَدْرَهُ وَ قاَلَ : الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِى وَفَّقَ رَسُوْلُ اللَّهِ
صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ
لِماَ يَرْضىَ رَسُوْلِ اللَّهِ (
رواه أ حمد و أ بو داود والترميذى
Rasulullah saw bertanya:
bagaimana cara kamu memutusi jika dating kepadamu suatu perkara? Ia menjawab :
saya putusi dengan (hokum) yang terdapat dalam kitab Allah. Beliau bertanya
lagi. Jika tidak kamu dapati (hokum itu) dalam kitab Allah? Ia menjawab: maka
dengan sunnah Rasulullah saw. Beliau bertanya: jika tidak kamu dapati dalam
sunnah Rasulullah saw juga dalam Kitab Allah? Ia menjawab: saya akan berijtihad
dengan pikiran dan saya tidak akan
lengah.Kemudian Rasul saw menepuk dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah
yang telah memberi taufik kepada utusan Rasulullah saw yang diridlai oleh
Rasululah . (HR
Abu Daud dan Turmudzi)
Rasul pernah menggunakan qiyas untuk menjawab
pertanyaan sahabat kepadanya seperti hadis berikut ini:
اِنَّ امْرَأَةً مِنْ
جُهَيْنَةً جاَ ءَتْ لِلىَ النَّبِيِّ صَلىَّ اللَّهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ فَقاَ
لَتْ : اِنَّ أُ مّىْ نَذَرَتْ
أَنْ تَحُجَّ فَلَمْ
تَحُجَّ حَـتّىَ ماَتَتْ , أَ فَأَ حُجَّ عَنْهاَ ؟ قاَلَ رَسُوْلِ اللَّهِ صَلىَّ اللَّهُ
عَلَيْهِ
وَ سَلَّمَ : نَعَمْ حُـجِّيْ عََنْهَا أَ رَ أَ
يْتِ لَوْ كاَنَ عَلَى أُ مُّكِ دَيْنٌ أَكُنْتِ قاَ ضِيَّتَهُ؟ أُقْضُواْ
اللَّهَ, فاَ اللَّهُ
أَ حَقُّ باِ الْوَفاَءِ ( رواه البخارى والنساءى)
Sesungghnya
seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasulullah was: ia
berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia
tidak sampai melaksanakannya sampai ia meninggalkan dunia , apakah aku
berkewajiban melaksanakn hajinya? Rasululah saw menjawab : benar, laksankanlah
haji untuknya. Tahukah kamu, seandainya ibumu mempunyai hutang, tentu kamu yang
akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah
lebih utama untuk dibayar ( HR Bukhari dan Annasai)
3)
Perbuatan sahabat
ثُمَّ افْهَمْ فِيْماَ
أَدْلىَ اِلَيْكَ مِماَّ وَرَدَ عَلَيْكَ
مِماَّ لَيْسَ فىِ القُرْاَنِ وَلاَ
سُنَّةٍ ثُمَّ قاَ يِسٍ الاُمُوْرَ
عِنْدَ ذَ لِكَ, واَ
عْرِفْ الاَ مْثاَلَ ثُمَّ اَ عْمِدْ فِيْماَ تَرَى اِلىَ أ َ حَبَِّهَا ا لىَ
اللَّهِ وَ أَ شْـبَهِهاَ
باِ الْحَقِّ
…
kemudian fahamilah benar-benar yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang
tidak terdapat dalam Al-Qur’an dan
sunnah.kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap
perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada
pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan
kebenaran…
Sedangkan alasan golongan yang tidak menerima qiyas
sebagai dasar hujah antara lain :
a)
Qiyas dilakukan berdasar dzan ( dugaan
keras) dan illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah
swt melarang kaummuslimin mengikuti sesuatu yang dhzan, berdasarkan firman
Allah berikut ini ;
وَلاَ تَقْفُ ماَ
لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ ... ( الاسراء 36)
Janganlah
kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu … (
QS.17:36)
b)
Sebagian sahabat mencela sekali
orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran
Rukun qiyas antara lain:
a)
Ashal , berarti pokok, yaitu suatu
peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash .asal disebut juga = maqis
‘alaihi
b)
Furu’; yaitu cabang suatu peristiwa
yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan
sebagai dasarnya
c)
Hukum ashal; yaitu hokum dari ashal
yang telah ditetapkan berdasar nash dan
hokum itu pula yang akan ditetapkan pada fara’seandainya ada persamaan illatnya
d)
Illat, yaitu suatu sifat yang ada
pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara’.. seandainya sifat itu ada pula
pada fara’, maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hokum fara’
sama dengan hokum ashal.. contoh harta
anak yatim, sebagaimana yang tercantum dalam firman Allah berikut:
اِنَّ الَّذِيْنَ
يَأْكُلُوْنَ أَمْوَا لَ اليَتَا مَ
ظُلْماً اِنَّماَ يَأْكُلُوْنَ فىِ بُطُوْ
نِهِمْ ناَراً وَ سَيَصْلَوْنَ سَعِيْراً
Sesungguhnya orang-orang
yang memakan harta anak yatim secara dzalim sebenarnya mereka itu menelan api
sepenuh perutnya dan mereka akanmasuk ke dalam api yang menyala-nyala ( neraka) ( QS;4:10)
Persamaan illat antara kedua peristiwa
ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena
itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim, yaitu
sama-sama haram.
Bila
disimpulkan adalah :
i.
Ashal, ialah memakan harta anak yatim
ii.
Fara’ ,ialah menjual harta anak yatim
iii.
Hukum
ashal ialah haram
iv.
Illat,
ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim. Sedang yang dimaksud
dengan illat adalah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat
itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum
pada fara’ yang belum ditetapkan hukumnya. Atau disebut juga suatu yang nyata
dan pasti, contoh safar ( dalam perjalanan) menyebabkan seorang boleh
meng-qasar shalat. Oleh karena itu
hikmah hukum berbeda dengan illat hokum. Dengan demikian bahwa semua
illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan
illat.
Syarat
–syarat illat:
a)
Nyata, masih terjangkau akal dan panca indera
b)
Pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa
illat itu ada pada fara,, karena sas
qiyas itu ada persamaan illat antara
ashal dan fara’
c)
Berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum
d)
Harus berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada
masalah-masalah lain selain dari ashal itu
Pembagian illat
Di antaranya adalah munasib mu’tsir , yaitu persesuaian yang
diungkapkan oleh syara’ dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa
pencipta hukum ( syar’i) telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu,
seperti firman Allah swt:
Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah:
"Haidh itu adalah kotoran". Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan
diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum
mereka suci. Apabila mereka telah suci, maka campurilah mereka itu di tempat
yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
taubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.
Dalam
membahas hukum agama , agar maksud dan tujuan manusia itu tercapai ,maka
syari’at membagi perbuatan manusia itu atas tiga tingkatan, yaitu :
1)
Tingkat dharuri ( yang harus ada
), meliputi :
a)
Memelihara agama ( rukun Islam )
b)
Memelihara jiwa ( dilarang membunuh
jiwa, termasuk jiwa diri sendiri, disyariatkan hokum qishas dsb
c)
Memelihara akal ( diharamkan minum khamr dan yang sejenis )
d)
Memelihara keturunan ( dilarang zina
dengan menjatuhkan hukuman berat baginya)
e)
Memelihara harta, ( ditetapkan hokum
potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dsb)
2)
Tingkat hajji
( yang sangat diperlukan), hal ini terdapat pada:
a)
Ibadat, seperti
boleh mengqadla puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh
meng-qasar shalat bagi yang dalamkeadaan takut atau musafir, boleh tayamum
bagi yang tidak mendapatkan air dsb
b)
Mu’amalat, seperti boleh melakukan
salem, ijarah dsb
3)
Tingkat tahsini (
segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama berhubungan dengan akhlak dan
susila , di antara contohnya :
a)
Dalam ibadat ( berhias dalam
mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan sunnat dsb
b)
Adap (sopan santun dalam pergaulan,
hormat menghormati dsb
c)
Mu’amalat, seperti menghindarkan
diri dari menjual najis
TUGAS
:
1.
DISKRIPSIKAN HUKUM SUATU PERISTIWA
ATAU MASALAH YANG BELUM JELAS DASAR HUKUMNYA SAAT INI ( PASCA REFORMASI BAIK
YANG TERKAIT DENGAN UNDANG-UNDANG ATAU PERSOALAN HIDUP YANG LAIN ( MINIMAL DUA KASUS)
2.
HASILNYA DIDISKUSIKAN PERTEMUAN
BERIKUTNYA ( DISKUSI KELOMPOK)