A. PENGERTIAN ISTIHSAN
Istihsan menurut bahasa berarti menganggap baik atau mencari yang baik. Menurut istilah ulama’ ushul fiqh,, ialah meninggalkan hukum yang telah ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan pada suatu peristiwa atau kejadian yang ditetapkan berdasar dalil syara’, menuju ( menetapkan) hukum lain dari peristiwa atau kejadian itu juga, karena ada dalil syara’ yang mengharuskan untuk meninggalkannya. Dalil syara’ yang terakhir disebut sandaran istihsan.
Sebagaimana disebutkan Al-Syatibi mengakui kaidah istihsan menurut Imam Malik berdasarkan kepada teori mengutamakan realisasi tujuan syari’at. ( Al-Syatibi dalam Iskandar Usman; 1994; 20). Hal itu menunjukkan bahwa istihsan sebagaimana akan terlihat dari definisi yang diberikan oleh golongan Malikiyyah, dasarnya adalah mengutamakan tujuan untuk mewujudkan kemaslahatan-kemaslahatan atau menolak bahaya-bahaya secara khusus sebab dalil umum menghendaki dicegahnya bahaya itu, karena kalau tetap dipertahankan asal dalil umum maka akan mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh dalil umum itu.padahal tujuan itu harus terlaksana seoptimal mungkin.
Dalil umum melarang melihat aurat seseorang , akan tetapi bila dalil umum ini tetap diperlakukan sampai melarang melihat aurat seseorang dalam pengobatan, maka hal itu akan mengakibatkan hilangnya maslahat yang ingin diwujudkan oleh dalil itu, karena dalil umum itu ingin memelihara kemaslahatan tahshiniyyat ( pelengkap).yakni kemaslahatan-kemaslahatan manusia dalam hidup yang terdiri atas dloruriyyat ( pokok), hajjiyyat ( kebutuhan ), dan tahshiniyyat ( pelengkap). Larangan dalam melihat dalam pengobatan menghilangkan kemaslahatan yang pokok ( dloruriyyat), karena dengan tidak mengadakan pengobatan akan mengakibatkan kematian atau hilangnya salah satu anggota badan atau hilang manfaatnya. Dasar memelihara jiwa adalah pokok, sedangkan memelihara pandangan adalah pelengkap bagi yang pokok, maka pelengkap itu tidak perlu dipertahankan.
Dalil umum juga yang melarang ketidakpastian ( al-gharar) dalam jual beli dan dalam mu’amalah-mu’amalah lain, bila dalil itu diperlakukan secara umum tanpa memandang apa yang dikehendakinya, lantas kita melarang al-gharar secara keseluruhan, maka hal itu akan mengakibatkan tidak tercapainya maslahat yang dikehendaki oleh dalil umum itu. Padahal memelihara tujuan dalil itu adalah wajib. Hukum ashal jual beli adalah pokok, sedangkan larangan ghoror adalah pelengkap. Kalau disyaratkan tidak boleh ada al-gharar secara keseluruhan maka akan tertutuplah pintu jual beli. Padahal jual beli itu masalah yang paling pokok.
Dalil yang memerintahkan menegakkan shalat dengan keumumannya menujukkan wajib disempurnakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya dalam setiap keadaan. Apabila dalil umum itu tetap dipertahankan tanpa memperhatikan tujuan pelaksanaan shalat itu pada keadaan orang sakit yang tidak mampu melaksanakan rukun-rukun dan syarat-syaratnya secara sempurna, maka akan mengakibatkan luputnya maslahat yang ingin diwujudkan dengan dalil umum itu. Shalat adalah pokok, sedangkan menyempurnakan rukun-rukun adalah pelengkap bagi yang pokok itu. Apabila perintah menyempurnakan rukun-rukun itu dapat mengakibatkan tidak terlaksananya shalat atau terlaksananya shalat dalam keadaan yang sangat sukar, maka pelengkap itu tidak perlu diperhatikan. Dan orang “lemah” boleh shalat dengan cara yang mudah dilakukannya sejauh dibolehkan oleh rukhshoh (keringanan) dalam rangka memelihara dasar maslahat yang pokok.
Contoh-contoh lain dalam istihsan madzhab Maliki seperti mengharamkan benda-benda najis untuk menjaga kehormatan dan wibawa serta memelihara adat kebiasaan yang baik. Maka kesimpulannya istihsan di sini adalah berpegang pada kemaslahatan khusus dalam berhadapan dengan dalil umum (kully) . maksudnya adalah mendahulukan maslahat dari pada qiyas. Jadi istihsan dalam ushul fiqh Maliki adalah istihsan yang merupakan pengecualian dari dalil umum, sedangkan istihsan dengan qiyas khafi tidak dikenal dalam ushul fiqh maliki. Dengan demikian istihsan bukanlah berarti menetapkan hukum sesuai dengan kehendak syara’ yang diketahui secara utuh dalam contoh-contoh ketetapan syara’. Seperti masalah-masalah yang oleh qiyas dikehendaki suatu hukum, akan tetapi bila masalah itu ditetapkan hukumnya dengan qiyas akan mengakibatkan lenyapnya maslahat dari sudut lain atau mengakibatkan timbulnya kerusakan. Hal ini banyak terjadi pada hukum ashal yang dloruriyyat dengan hajjiyyat dan hajjiyyat dengan tahshiniyyat . memperlakukan qiyas secara mutlak dalam masalah dloruriyyat mengakibatkan timbulnya kesulitan dan kesukaran pada beberapa masalah, maka dalam hal-hal yang menimbulkan kesukaran tidak diterapkan qiyas, demikian juga hajjiyyat dan tahshiniyyat .
Untuk lebih jelasnya tentang pengertian istihsan , maka berikut ini akan dikemukakan beberapa definisi yang dikemukakan oleh para ulama’ Maliki sbb:
a) Menurut Ibnu Al- ‘Arabi, istihsan adalah meninggalkan kehendak dalil dengan cara pengecualian atau memberikan rukhshoh karena berbeda hukumnya dalam beberapa hal
b) Gol. Hanafiyyah, istihsan adalah beramal dengan salah satu dari dua dalil yang paling kuat, berpegang kepada dalil umum apabila dalil itu bias terus berlaku dan berpegang kepada qiyas itu berlaku umum
c) Al-syafi’I, istihsan adalah menetapkan hukum syara’ berdasarkan hawa nafsu . siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia telah menetapkan sendiri hukum syara’ berdasarkan keinginan hawa nafsunya , sedang yang berhak menetapkan hukum syara’ hanyalah Allah SWT. Dalam buku risalah ushuliyyah disebutkan : “ perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah seperti orang yang melakukan shalat menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan bahwa arah itu adalah arah Kiblat / Ka’bah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara’ untuk menentukan arah Ka’bah itu.
Perbedaanya istihsan dengan qiyas adalah: pada qiyas ada dua peristiwa sedangkan pada istihsan hanya ada satu peristiwa
B. MACAM-MACAM ISTIHSAN
1) Istihsan dengan maslahat. Menurut madzhab Hanafi, bila seorang mewakafkan sebidang tanah pertanian, maka termasuk yang diwakafkannya adalah hak pengairan, hak membuat saluran air di atas tanah itu dsb. Yang penting dapat dimanfaatkan tanah wakaf tersebut
2) Istihsan dengan urf, Sisa minuman burung buas, seperti sisa burung elang, burung gagak dsb adalah suci dan halal diminum. Menurut qiyas jaly sisa minuman binatang buas , seperti anjing dan burung-burung buas adalah haram diminum karena sisa minuman yang telah bercampur dengan air liur binatang itu diqiyaskan kepada dagingnya. Binatang buas itu langsung minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya masuk ketempat minuman. Menurut qiyas khafi bahwa burung buas itu berbeda mulutnya dengan mulut binatang buas. Berdasarkan keadaan inilah ditetapkan perpindahandari qiyas jali ke qiyas khafi disebut istihsan
C. KEHUJJAHAN ISTIHSAN
Sebagaimana dijelaskan, fikih Maliki merupakan fikih yang sangat memperhatikan kaidah-kaidah umum dan dasar-dasar yang universal. Karena itu ditetapkan kehujjahannya sbb:
1) Kaidah istihsan dalam hubungannya dengan dalil fikih merupakan suatu kaidah yang qath’i yang diambil pengertiannya dari sejumlah dalil nas yang saling dukung-mendukung kepada suatu pengertian yang memberi faedah qath’I, oleh karena itu kaidah istihsan merupakan kaidah umum yang ditarik secara induksi pada tingkat umum yang ditarik dari lafadz itu, diterapkan kepada setiap peristiwa yang ada relevansinya dan ditetapkan hukumnya dengan memasukkannya ke dalam kategori obyek yang umum itu, jika peristiwa itu merupakan masalah khusus
2) Dalil-dalil syara’ yang secara kolektif memberi faedah qath’I yang dijadikan sebagai kaidah istihsan yang idbenarkan oleh al-syar’i. contoh-contoh serupa itu menurut Al-Syatibi, banyak terdapat di dalam Islam. Seperti berutang ( meminjam uang), pada dasarnya adalah riba, karena utang itu adalah menukar uang dengan uang sampai ajal ( tempo) yang disepakati bersama. Tetapi pinjaman itu dibolehkan karena bermanfaat dandapat membantu orang yang membutuhkan. Kalau pinjam-meminjam itu tetap dilarang sesuai dengan hokum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia dan dengan hokum dasarnya, hal itu menyusahkan umat manusia dan menghalangi asas tolong menolong dengan cara ini. Demikian juga jamak shalat magrib dengan Isyak karena ada masyaqqat ( kesukaran ) dalam perjalanan musafir
D. HUBUNGAN ISTIHSAN DENGAN ISTISHLAH
Istislah adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah yang tidak dijelaskan hukumnya oleh nas dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-maslahat al-mursalat . Al-maslahat al-mursalat adalah maslahat yang tidak disebutkan dengan nas tertentu akan tetapi sejalan dengan kehendak syara’. Secara definitive , al-maslahat al-mursalat dapat diartikan dengan sesuatu yang tidak ada dalil khusus yang mengakui dan tidak pula yang membatalkannya, namun keras dugaan apabila ia diterapkan akan dapat memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok seperti memelihara agama, jiwa keturunan, akal dan harta, dan dapat menghilangkan kesulitan.
Sebagian ulama’ ada yang berpendapat bahwa maslahat mursalat ialah kemaslahatanyang tidak disinggung oleh syara’ dan tidak pula terdapat dalil-dalil yang menyuruh untuk mengerjakan atau meninggalkannya, sedang jika dikerjakan akan mendatangkan kebaikan yang besar atau kemaslahatan. Maslahat mursalat di sini disebut juga maslahat mutlak, karena tidak ada dalil yang mengakui kesahan atau kebatalannya. Jadi pembentukan hukum dengan cara maslahat mursalah semata-mata untuk mewujudkan kemaslahatan manusia dengan arti untuk mendatangkan manfaat dan menolak kemudlorotan dan kerusakan bagi manusia. Oleh karena memelihara kebutuhan-kebutuhan pokok dan menghindarkan kesempitan itu menjadi tujuan syari’at, maka al-maslahat al-mursalat termasuk tujuan syariat secara umum. Setiap yang dapat memelihara dan mewujudkan tujuan tersebut dapat dilakukan sejauh tidak bertentangan dengan petunjuk-petunjuk Al-Qur’an. Hukum yang dite dengan istislah adalah seperti pembukuan Al-Qur’an dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman ibn Affan, khalifah ketiga.hal itu tidak dijelaskan oleh nas dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan kehendak syarak untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al-Qur’an.
Dasar Hukum maslahat mursalah adalah:
a) Persoalan yang dihadapi manusia selalu berkembang , demikian pula kepentingan hidupnya
b) Sebenarnya para sahabat , tabi’in , tabi’ut-tabi’in dan para ulama’ yang dating sesudahnya telah melaksanakannya sehingga mereka dapat segera menetapkan hokum sesuai dengan kemaslahatan kaum muslimin pada masa itu. Missal Abu Bakar telah mengumpulkan Al-Qur’an, Umar telah menetapkan talak yang dijatuhkan tiga kali sekaligus jatuh tiga, padahal pad amasa Rasul hanya jatuhsatu, khalifah Usman telah memerintahkan penulisan Al-Qur’an dalam satu mushaf dan khalifah Ali telah menghukum baker hidup golonganSyi’ah Radidhah yang memberontak, kemudian diikuti para ulama’ yangdatang sesudahnya.
Obyek maslahat mursalat yaitu hokum dalam bidang mu’amalat dan semacamnya, sedang dalam soal-soal ibadah adalah hakAllah untuk menetapkan hukumnya, karena manusia tidak sanggup mengetahui dengan lengkap hikmat ibadat.
Perbedaan istihsan dengan istislah adalah bahwa istihsan berarti beramal dengan maslahat ketika berhadapan dengan dalil umum atau qiyas, sedangkan pada istislah tidak ada dalil umum atau qiyas yang dikecualikan dengan maslahat. Artinya , kalau istihsan berarti ada dalil- yaitu dalil umum atau qiyas-yang dikecualikan dengan maslahat, sedangkan pada istislah tidak ada dalil yang dikecualikan dengan maslahat, akan tetapi bersifat mutlak
Dari uraian di atas jelaslah bahwa istihsan dan istislah, merupakan cara-cara istimbat hukum yang berdiri sendiri yang kedua-duanya ditemui dalam ushul fiqh Maliki, tetapi bila diperhatikan macam-macam istihsan sebagaimana yang telah dijelaskan tersebut di atas ,maka dapat disimpulkan bahwa istihsan lebih umum daripada istislah, karena almaslahat-mursalah satu macam dari dasar istihsan. Sebab istihsan selain beramal dengan al-maslahat mursalat jug aberamal dengan ijmak, urf , sedangkan istihsan hanya didasarkan kepada almaslahat almursalat saja.